Rabu, 23 November 2011

Hadiah dan Nepotisme Bayangi Pernikahan Ibas & Aliya


Pernikahan Ibas-Aliya mendapat sorotan. Terutama soal biaya pernikahan dan digunakannya Istana Cipanas sebagai tempat akad nikah. Sorotan ini tidak salah, tetapi sebetulnya tidak terlalu mendasar.
Soal biaya misalnya, tentu saja hak para orangtua kedua mempelai untuk menetapkan anggaran. Juga sangat tidak pantas jika sebuah pesta digelar di Istana, lalu tempatnya pun tidak didandani sebaik mungkin.
Dan terlalu berlebihan kalau SBY dan Hatta Rajasa diminta untuk mengklarifikasi hadiah-hadiah yang diterima oleh anak mereka dalam rangka pesta pernikahan tersebut. Ditegur ataupun tidak, diingatkan atau tidak SBY dan Hatta Rajasa pasti sadar apa dan bagaimana tindakan mereka mengenai soal hadiah.
Apalagi kedua tokoh ini tahu benar tentang keberadaaan undang-undang soal pemberian hadiah sesuai UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada KPK sehingga lebih baik jika sejak awal undangan diberitahu untuk tidak memberi hadiah atau bingkisan bahkan berbentuk uang kepada kedua mempelai.
Hanya saja publik melihat kesan SBY terlalu reaktif. SBY langsung menyatakan agar tamu yang menghadiri hajatan puteranya, tidak perlu membawa hadiah. Bagaimana pun Ibas sebagai Kepala Rumah Tangga baru, pasti berharap akan ada sahabat yang mau memberi hadiah sebagai kenang-kenangan dan tanda suka cita.
Dan namanya juga orang berpesta. Tentu mereka punya kepentingan sebuah pesta berjalan sukses. Bahkan kalau ada yang menyumbang secara diam-diam kepada keluarga SBY maupun Hatta Rajasa, sebetulnya tidak masalah. Bangsa ini jangan keblablasan.
Dalam sistem kekerabatan bangsa, menyumbang sebetulnya merupakan perbuatan yang mulia. Lagi pula sumbangan itu ada alasannya. Lain halnya kalau SBY dan Hatta Rajasa setiap tahun bergantian menyelenggarakan pesta pernikahan.
Belum lagi kebiasaan memberi hadiah pada pasangan yang menikah, sudah membudaya. Jadi tidak adil sebetulnya kalau Ibas dan Aliya tidak boleh menerima hadiah. Cuma masalahnya memang menjadi serba salah dan patah arang, gara-gara bangsa ini sedang ramai-ramainya memberantas korupsi dan pemberian hadiah atau sumbangan sejenis. Semua itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran (hukum) atau bagian dari korupsi.
Sesungguhnya persoalan yang lebih penting bagi bangsa akibat pernikahan Ibas dan Ailya adalah terjadinya sebuah nepotisme secara terbuka dalam sistem politik kita. Selain nepotisme penyelenggaran pesta pernikahan ini terlalu panjang yakni pada 22, 24 dan 26 November 2011. Gara-gara pesta Ibas-Aliya, Indonesia selama satu pekan ini libur nasional secara tidak resmi.
Bukan salah Ibas maupun Aliya ketika mereka berdua saling jatuh cinta di saat kedua orang tua mereka menduduki posisi penting di negara kita. Tetapi kekhawatiran atas nepotisme baru bakal merebak setelah pernikahan Ibas dan Aliya. Antara lain karena dalam beberapa waktu terakhir ini, anak-anak sejumlah pejabat penyelenggara negara saling menikah dengan anak tokoh masyarakat.
Puteri Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan misalnya menikah dengan putera Amin Rais. Adik kandung Menteri Percepatan Daerah Tertinggal menikah dengan anaknya Ketua Umum PB NU. Di pemerintahan SBY sendiri bukan rahasia lagi Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo merupakan adik ipar Presiden SBY.
Sementara di Partai Demokrat, partai penguasa, entah berapa banyak yang menjadi anggota sekaligus mempunyai tali persaudaraan dengan anggota lainnya. Nepotisme diadopsi oleh hampir semua partai politik.
Mengapa nepotisme menjadi persoalan? Sebabnya banyak. Nepotisme dianggap sebagai salah satu praktek yang melemahkan penyelenggaraan negara secara benar dan bersih. Pada 1996 adalah Amien Rais, Sri Sultan Hamengku Buwono, Megawati Sukarnoputri dan Adurrahman Wahid yang berkumpul di Jakarta kemudian menyatakan kebulatan tekad untuk memberantas Nepotisme, Korupsi dan Kolusi (NKK).
Tekad itu dikumandangkan oleh mereka, sebab pemerintahan Soeharto yang sudah berkuasa selama 30 tahun, makin sarat dengan praktek NKK atau KKN. Nepotisme dalam pemerintahan Soeharto misalnya terlihat pada banyaknya anggota keluarga Cendana, keluarga Menteri dan keluarga Jenderal yang menduduki posisi-posisi penting atau posisi basah dalam birokrat Indonesia.
Pada 1997, tekad memberantas Nepotisme itu bergulir dengan cepat yang kemudian berujung pada jatuhnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998. Sampai saat ini tidak ada yang berani menyatakan bahwa Nepotisme yang ditentang Amien Rais dan kawan-kawan berhasil dihapus atau tidak. Sebab banyak pejuang dan aktivis anti Nepotisme itu sendiri kini sudah lupa akan apa yang mereka perjuangkan lebih dari sepuluh tahun lalu.
Oleh sebab itu yang perlu diingatkan kepada SBY dan Hatta Rajasa adalah soal memurnikan Indonesia dari Nepotisme. Peringatan kepada kedua tokoh ini penting. Karena SBY dan Hatta Rajasa yang juga berstatus pemimpin partai berbeda.
Dengan pernikahan anak-anak mereka, akan ada imbas politik pada hubungan Partai Demokrat (PD) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Mungkin akan semakin sulit membedakan PD dan PAN karena kebetulan warna lambangnya dua-duanya didominasi oleh warna biru. Setelah pernikahan Ibas-Aliya, Hatta mungkin akan menjadi Wapres de-facto.
Diakui atau tidak, disengaja atau tidak, PD dan PAN akan terdorong untuk membentuk koalisi baru. Disengaja atau tidak bakal timbul kerikuhan antara kader papan atas dari kedua partai yang sebelumnya saling bersaing.
Mengingat SBY dan Hatta merupakan tokoh sentral dalam pemerintahan Indonesia, sulit untuk mengatakan keduanya akan mampu membedakan mana kepentingan partai, kepentingan negara dan kepentingan pribadi.
Tentu saja kita tidak boleh terlalu apriori bahwa Ibas dan Aliya akan ikut mempelopori nepotisme dalam arti yang lebih luas. Tetapi akan terlalu naif apabila kita katakan mereka berdua tidak punya obsesi untuk memperpanjang kekuasaan orangtua mereka.
Dengan posisi Ibas sebagai Sekjen Partai Demokrat sementara Hatta Rajasa sebagai mertuanya duduk selaku Ketua Uum DPP PAN, jelas sulit mencegah kedua partai melakukan koalisi, koalisi mana pasti mengandung elemen nepotisme.
Dan dengan disebut-sebutnya Hatta Rajasa sebagai sosok calon Presiden RI yang akan menggantikan SBY, sulit untuk tidak mengatakan bahwa SBY dan Hatta Rajasa tidak akan berbicara mengenai koalisi memenangkan Pilpres 2014.
Dalam perayaan pesta pernikahan ini saja, yang menetapkan tanggal acaranya terdiri atas 22 November (melamar), 24 November (Ijab Kabul) dan 26 Nopember 2011 (resepsi di JCC), sudah menunjukkan betapa SBY dan Hatta Rajasa telah menjadikan pesta pernikahan anak mereka sebuah hajatan nasional sekaligus libur nasional.
Tiga acara yang digelar terpisah dalam seminggu itu telah membuat para Menteri mau tidak mau meliburkan sendiri lembaga atau kementerian yang mereka pimpin. Inilah salah satu dampak negatif dari sebuah nepotisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar